Malam
ini, bintang tidak terlalu percaya diri untuk menampakkan wujud indahnya. Bulan
pun masih malu untuk menggantikannya. Apalagi matahari yang sedari petang sudah
hilang dilahap laut. Katanya. Hanya awan-awan hitam yang setia menemani langit
yang serupa warnanya. Suasana pantai kali ini tak begitu ramai, pasirnya masih
banyak basah oleh hujan, bukan oleh desiran air pantai. Tenda para turis itu
pun sudah tertutup bak kelopak bunga yang sedang kuncup, para turis itu
meninggalkan payungnya diatas pantai, sedangkan mereka, menikmati hangatnya
ruang hotel di pinggir pantai. Aku memilih duduk tepi pantai, sambil menunggu
air datang, menghirup aroma malam yang sebaiknya dihindari. Kesegaran malam ini
akan menusuk jahat ke permukaan paru-paruku, sebagian peneliti banyak
mempercayainya seperti itu. Sedangkan aku, dengan santai menikmati kesegaran
itu, sambil memandang kehitam-hitaman langit, aku berkhayal ada seseuatu yang
jatuh dari langit, mungkin jodoh, hhaha, sangat tidak mungkin.
Persuntingan
seorang wanita masih jauh dari ekspektasi hidup saat ini. Aku masih mau
melanjutkan pendidikanku sebagai ekonom handal, yang nantinya jiwa ini sudah
ditaruhkan untuk menjadi seorang punggawa Negara. Hebat bukan?.
Kutatap
langit lebih rinci lagi. Langit hitam yang sedikit demi sedikit menurunkan
titik air hujan keatas wajahku itu menanamkan wajah cemas diwajahku, bagaimana
jika tiba-tiba langit hitam indah itu menjadi bagi kita. Tak apalah, tuhan
telah banyak mengatur dengan desain sesukanya.
**
“ma,
papa berangkat dulu ya?” seruku kepada istriku. Ku kecup kening istriku dengan
lembut. Mengecup kening istri sudah menjadi hobbiku, sebagai suami yang
bertanggungjawab memberikan kasih sayang, hal ini adalah sesuatu yang wajib. Mungkin
bagi sebagian orang adalah hal sepele, hal yang tak perlu dibesarkan, namun
bagi saya hal inilah yang masih membuatku jatuh cinta terhadap istriku.
“hati-hati,
pah” balasan ciuman tangan dari istri adalah satu tanda ketaatan seorang istri
kepada suaminya. Dan itulah yang menjadi hak suami setiap pagi. Meski istriku
tak memberikannya, aku akan tetap memaksa bagaimana pun, ia harus mencium
tangan ini, bukan karena paksaan penghambaan. Tapi, aku ingin menanamnkan
bagaimana ia harus menghargai orang yang sedang berkorban untuknya.
Mengatur
keuangan Negara itu adalah hal yang sangat sulit. Menjumlahkan uang dana
rancangan belanja Negara. Menimbang seluruh data pembukuan agar seimbang.
Menampung dana dari jutaan desa di Negara. Semuanya sangat sulit, salah
sedikit, bisa menjadi alasan massa mengamuk pada Negara. Namun, berbeda
denganku, dengan berlandaskan suatu ibadah kepada tuhan semata, semua urusan
mengatur keuangan Negara itu adalah suatu yang sangat mudah. Selalu berdoa agar
diberi ketelitian dalam menjumlah, dikaruniakan selalu kejujuran dalam
menghimpun dan diilhami keadilan dalam menyeimbangkan.
Belum
lagi rancangan belanja rumah, dari sang raja abadi. Istri. Jika sudah
pertengahan bulan seperti ini, dia sudah menjadi manusia siaga satu, dahinya
sudah sedikit mengerut kebawah, meski belum sepenuhnya mengerut. Keadaan rumah
di pertengahan bulan ini seperti kontrakan mahasiswa, yang mulai satu-persatu
barang sudah mulai tak mengenal tempat aslinya. Namun, semua itu dilakukan
dengan kesabaran. Berdoa agar selalu ada pada poros kesabaran, saling cinta
sesama keluarga adalah kunci yang harus ditagih kepada tuhan agar rumah tangga
sejahtera.
Ada
kemenarikan pada hari ini. Kala itu, waktunya beristirahat makan siang, aku
pergi menuju kantin yang memang agak jauh dari kantor tempatku menginput semua
urusan Negara. Ditengah perjalanan, ku menemukan seorang kakek paruh baya yang
berjalan dengan santailalu kakek itu menyematkan senyum kepadaku yang sedang
terburu nafsu kala itu. “degg…” hatiku berdesir ketika senyum itu mendarat di
mataku ini, bukan karena nafsu cinta, tapi karena cinta bathin ini mengingat
sosok ayah yang sangat ramah, baik, pemberani, pahlawan akhir zaman yang memang
aku temukan seumur hidupku. Tapi, kini ia telah tiada, memang ia sudah lama
meninggalkanku, tapi, aku masih ingat raut indah ketegaran darinya, dan aku pun ingat, bulan ini aku belum berkunjung
ke pusara ayah.
**
“Brrrrr…..
brrrr…..” air pantai menyapa sela-sela jari-jari kaki, menggelitik disetiap
inci telapak kakiku. Aku terbangun, terduduk sambil memeluk lutut melihat
betapa indahnya pantai mala mini. Setiap angina yang lewat tak ku sia-siakan,
ku hirup dalam-dalam, ku hisap dalam-dalam.
“grugrugrugurgrug…..”
ternyata langit sudah tak bersahabat, awan hitam telah memulas rata langit
berwarna gelap diatas. Datang dengan marah, sang Guntur pun tiba-tiba
melontarkan petir ketengah laut, dengan suara yang begitu menggelegar.
“jederrrrr….”
Semua pengunjung pantai kali itu langsung bertaburan pergi meninggalkan tempat
istirahat mereka, begitu pun aku yang ketakutan mendengar suata petir itu.
Rupanya sang Guntur tetap marah, petir berulangkali dilontarkan kepada penduduk
bumi oleh sang Guntur. Riak hujan tiba-tiba datang dengan deras, mereka tak
mendatangkan gerimis terlebih dahulu, membuat semua orang lebih kaget dengan
derasnya hujan ini. Pertunjukkan Guntur semakin asyik, ketika ombak ikut
mengamuk didataran laut sana. Terlihat ombak begitu besar saling berbenturan.
Sang turis pun hanya bisa berucap memanjatkan mantera-mantera doa-doa kepada
tuhan agar senantiasa cepat mereda.
Hujan
semakin reda. Petir semakin seram dilihat. Ombak pun sudah tak lagi bersahabat.
Disaat semua sedang menikmati perannya, tiba-tiba air laut meluap bukan hanya
sebagai ombak penarik wisatawan, tapi ombak kali ini melebihi lantai tiga apartemen
di pinggir pantai, sontak semua orang keluar berhamburan menuju dataran lebih
tinggi. Aku pun panik, mencari keluargaku yang tiba-tiba menghilang. Air laut
itu pun sudah tak dapat lagi kutahan, aku terbawa hanyut, terbawa aliran deras
laut yang akan meratakan semua pemukiman warga. Aku semakin pasrah, aku mencoba
bertahan sekuat yang aku bisa, mataku berusaha terbuka agar kepalaku tak
terbentur benda-benda yang terbawa air laut itu. Semakin lelahku menaha
semuanya, semakin jelas pemandangan ayah, ibu, kakak, adik dan semua keluarga
teman kerabat yang pernah aku mengenalnya. Dan semua itu hilang terbawa arus
deras. Mungkin aliran deras ini akan membawaku ke surge.
**
“Riaaaaaaaaaaaannnnn…..
banguuuuunnnn…” Teriak kakakku tepat di telingaku.
“Astaga..!”
aku tebangun dengan seketika, badanku mengucurkan keringat yang begitu banyak,
jantung pun masih dengan pompaan kencang dana cepat, kepalaku pening, gerimis
yang semakin deras membuat keringatku tidak terlihat. Kulihat kakak perempuanku
bermuka masam memandangku.
“ayo
cepat pulang, mala mini hujan sudah mulai deras, kau tak sadar..” nada kakak
semakin tinggi, mungkin kesal kepadaku yang sedari tadi masih tertidur di
pantai.
Kepalaku
masih pening. Mataku tak bisa lurus memandang arah. Kaki dan tangan masih lemas.
Pikiranku masih melayang, membayangkan apa yang sudah termimpikan. Bermimpi
sebagai punggawa Negara, bermimpi sebagai Presiden rumahan dan sebagai khalifah
keluarga. Senangnya.
Kepalaku
pun masih melayangkan segenap scene mimpi di pantai tadi, background yang sama
persis seperti keadaan saat ini membuatku semakin cemas, hujan deras, Guntur,
petir dan semua yang tergambar di mimpi itu. Bagaimana jika itu terjadi?. Ah,
sudahlah. Itu mimpi.
*******************************************************************************