Sabtu, 20 Februari 2016

Sepatu Lama



Pernahkan kalian mendengar cerita yang membuat kalian mengharu biru? Aku banyak membaca buku-buku melankolis dan sebagian besar hanya kunikmati dan kuingat hanya beberapa waktu. Tapi cerita ini mampu membuat ku mengharu biru, menangis ditengah kegalauan ku menuju pendidikan tinggiku.
 Malam itu aku duduk bersama ibu, memandang selasar hotel berbintang lima yang kami tempati demi mengejar sebuah arti “bangku kuliah”. Dari situ mulailah sebuah kisah yang akan dirangkai dari sebuah pengalaman hidup seseorang yang sangat aku  banggakan. Ibu.
***
“Tiii,,, bangunn,,,”
Subuh ini, mih membangunkanku lebih awal dari biasanya, adik bungsuku sedang sakit dan dampaknya akulah yang harus mengawali semua kegiatan pagi ini. aku bangunkan pula iis dan ani, adik-adik tertuaku,  seperti biasa aku akan berangkat sekolah, tak lupa aku membawa seember dagangan yang akan aku titipkan dan aku jual di sekolah nanti, ya, bila orang-orang menyebutnya belajar sambil bermain mungkin menurutku berdagang adalah kata yang lebih tepat.
Jika semua orang punya banyak mimpi yang tinggi mungkin aku adalah orang yang tak berani bermimpi lebih selain hanya bisa menamatkan sekolahku hingga SMA dan mencari kerja, setumpuk penghargaan dan rapot-rapot berwarna biru itu mungkin hanya akan jadi kenangan yang akan aku ceritakan pada anakku kelak. Aku tak mampu bermimpi lebih, aku hanya anak dari seorang keluarga seadanya, bapa hanya penjual tahu keliling, mih hanya ibu rumah tangga, dan aku adalah anak tertua dari 5 bersaudara setelah 2 adikku meninggal beberapa tahun yang lalu. Untuk makan sehari hari saja kami harus membagi sebuah telur menjdi empat, kadang-kadang bapa hanya makan tahu tanpa nasi. Sedih rasanya, keadaanku sangat berbeda jauh dengan keadaan sahabatku, euis, bapanya pedangan kelontong yang mampu membelikannya sepatu setiap semester.
Apa yang kalian lakukan bila sepatu yang kalian pakai sudah robek yau sudah tidak layak pakai? Membuang lalu membeli bukan. Bagiku membeli sepatu sama halnya dengan tidak makan 3 hari, yang aku lakukan hanya mencoba menambal dan mengesol sepatuku. Bila memang benar2 tak bisa dipakai satu-satunya jalan hanya memungut sepatu tetanggaku yang sudah tak terpakai. Pernah suatu ketika, aku dan mih mengunjungi saudara kami di karang layung, sebut saja uwa. Dari awal kami masuk ke pekarangan rumah uwa, mataku tak henti melirik tumpukan sepatu kotor berserakan yang ada di pinggir tempat sampah, sepatu tak terpakai, sepatu itu sepertinya masih akan terlihat bagus bila dicuci, setidaknya masih dapat dipakai dibanding sepatuku yang beberapa kali aku sol dirumah. Ketika mih sedang asik mengobrol dengan uwa, aku keluar rumah, mengamati sepatu-sepatu itu kembali, berniat akan memintanya pada uwa sebelum pulang nanti dan membayangkan senin nanti aku, iis dan ani akan memakai sepatu yang berbeda walau tidak  baru. Aku pegang, kotor sekali, aku bersihkan, aku tumpuk rapi, aku pisahkan dengan sampah disekitarnya. Akhirnya obrolan itu selesai, mih dan uwa keluar.
“wa, eti minta sepatu nya ya” kataku sambil menunjukan tumpukan sepatu yang sudah aku siap bawa.
“sepatu apa?”
“itu, sepatu yang dekat tempat sampah”
“ehh jangan itu masih dipake, simpen lagi simpen,..”
Jleebbb,, sakit.
“tapi ko disimpen deket tempat sampah”
“yehh,, simpen lagii”
Jleebb.. sakit.
Aku kembali menaruh sepatu-sepatu itu, meninggalkan ditempat semula dengan hati yang tersayat, tuhan, memulung saja tak boleh, apa itupun terlalu mahal untukku?.
Setelah berjalan jauh dari rumah uwa, mih memegang tanganku, lalu berbisik
“sudahlah ti, jangan suka minta-minta sepatu, doakan saja semoga mih dapat uang untuk beli sepatu untukmu” bisik mih dengan mata yang dapat kubaca bahwa mih pun merasakan sakit yang sama sepertiku.
Mendengar itu, aku semakin ingin menangis. Maafkan aku mih, aku tak bermaksud mempermalukan mih, atau membebani pikiran mih gara-gara hanya ingin ganti sepatu. Kejadian itu benar-benar melekat dalam hatiku, Tak dapat kulupakan, sungguh tuhan menyakitkan sekali.
Allah selalu memberi hikmah dibalik semua kejadian, dua hari setelah hari yang menyakitkan itu, aku kembali menemukan tumpukan sepatu tak terpakai di rumah tetanggaku, sebut saja eteh. Aku terus saja memperhatikan sepatu itu, berniat memungut dan memintanya, tapi bila mengingat kejadian dirumah uwa, niatku langsung hilang. Tapi bukan namanya yeti jika gampang menyerah. Basa basi aku bertanya.
“eteh, sepatu itu masih di pake?”
“sepatu yang mana ti?”
“itu yang banyak di rak, yang kotor”
“ohh,, ya sok buat eti aja, tuh ada banyak, udah gak cukup, ambil aja kalu mau” ucapnya sambil tersenyum
Ya Allah, aku bahagia sekali, tanpa pikir panjang, aku pilih-pilih sepatu, aku panggil iis dan ani untuk memilih sepatu juga. Sepatu-sepatu ini lebih bagus dibanding yang aku lihat dirumah uwa kemarin. Aku bersama kedua adikku memcuci sepatu-sepatu itu, menjemurnya dengan rasa tidak sabar memakainya esok disekolah.
Hal yang sering membuatku terharu sekaligus bangga adalah ketika mih naik ke atas panggung mengambil piagam penghargaan dari kepala sekolah karena kejuraan yang aku dapatkan.
***
Tak terasa air mataku begitu lancar mengalir di pipiku, cerita yang tadi disampaikan ibu, membuat hatiku sadar, membuatku harus semakin menghargai apa yang saya telah dapatkan, membuatku harus bersyukur lebih banyak lagi.
“Allahu akbar.. Allahuakbar..” tak terasa adzan maghrib telah menjadi pamungkas dalam petang ini. Membuatku dan ibu beranjak pergi bersiap untuk melaksanakan shalat berjamaah.

*****************************************************************************
kirim komentar anda ke : dikitriana@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda. menentukan nasib saya!!