Dunia
yang damai merupakan tujuan luhur manusia yang diajarkan dalam agama manapun.
Agama mana yang mengajarkan untuk melakukan pembantaian, dan menumpahkan darah
orang-orang yang berbeda agama? Saya yakin tidak ada agama yang sekejam itu.
Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih,
Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang
bagi seluruh alam.
Bila
tujuan luhur manusia dan semua agama sangat ingin menghendaki perdamaian dan
memiliki komitmen kuat terhadap anti-kekerasan, lalu mengapa kekerasan agama
itu kerap terjadi dengan korban yang tidak terhitung jumlahnya? Agama yang yang
seyogyanya mengajarkan kesejukan, kedamaian, kesentosaan, kasih sayang dan
nilai-nilai ideal lainnya, saat ini sudah berevolusi dalam wajah yang keras,
garang dan menakutkan. Agama juga kerap dihubungkan dengan radikalisme,
ekstrimisme, bahkan terorisme. Agama pun dikaitkan dengan bom bunuh diri,
pembantaian, penghancuran gedung, dan lain-lain yang menunjukkan wajah baru
agama masa kini.
Jalaludin
Rakhmat dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama mengatakan
agama acapkali dapat dilihat dalam realita yang saling bertentangan. Agama bisa
memotivasi pengabdian tanpa batas, tetapi ia pula dapat memotivasi
tindak kekerasan tanpa belas kasihan. Agama pun bisa mengilhami pencarian ilmu,
namun ia pula dapat menyuburkan takhayul. Agama jualah yang dapat memekikkan
perang paling keji, dan pada saat yang bersamaan dapat menebarkan kedamaian
(2003).
Agama:
Pemicu Konflik Dalam Peradaban
Peran
agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah sepatutnya
dipertanyakan. Milyaran manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen
dalam pelbagai suku, etnis, ras, agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Namun
sayangnya, perbedaan-perbedaan tersebut seringkali berakhir dengan konflik. Dan
konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling
berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, atau antar golongan kaya dengan
golongan miskin, ataupun juga antara kelompok-kelompok ekonomi lainnya;
melainkan konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang
berbeda-beda. Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas agama justru telah
menimbulkan konflik yang paling keras, paling lama, paling luas, dan paling
banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan
kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama telah
menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan orang melakukan kekerasan, menindas,
melakukan ketidakadilan dan pembunuhan.
Dalam
konteks kekinian, bentuk-bentuk konflik, kekerasan dan perang agama itu
acapkali dihubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme
agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan
kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya
tidak ideal. Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong, merupakan
salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20. Ekspresi fundamentalisme
ini terkadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang
salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh
presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat. Peristiwa
yang pernah membuat dunia rusuh, yaitu hancurnya gedung World Trade
Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, September 2001 lalu, juga
dihubungkan dengan gerakan fundamentalisme.
Ciri-ciri
umum yang dapat memberi beberapa penjelasan tentang makna fundamentalisme
adalah sebagai berikut:
- Mereka meyakini agama (ajaran,
dogma, dan kitab sucinya) adalah yang paling benar.
- Mereka meyakini agama
mereka saja yang dapat menyelesaikan pelbagai permasalahan dunia.
- Mereka menentang penafsiran,
pendekatan, dan kritik yang dilancarkan oleh arus modern kepada agama
mereka.
- Mereka menekankan pentingnya
untuk menjadi penganut agama yang sejati dengan pengamalan doktrin
yang paling murni.
- Mereka memimpikan terciptanya
masyarakat ideal yang dibangun berdasarkan ajaran agama mereka.
- Mereka adalah orang-orang yang
dangkal dan superfisial, anti intelektual, dan pemikirannya sebenarnya
tidak bersumberkan Kitab Suci dan budaya intelektual tradisional agama
mereka.
Memformat
Ulang Agama—Jalan Untuk Dunia Yang Lebih Baik
Sebuah
mobil yang memiliki kerusakan pada mesinnya, seyogyanya dibawa ke bengkel dan
diperbaiki sehingga kerusakannya tidak bertambah parah. Demikian pula halnya
jika tujuan luhur dari agama ternyata tidak sejalan dengan praktek kehidupan
umat, maka pastilah ada yang salah pada agama. Oleh karena itu ia harus segera
diperbaiki, karena jika tidak segera diperbaiki, maka agama akan menjadi
monumen usang yang disfungsional. Dalam hemat penulis, setidaknya ada dua
pilihan yang bisa diterapkan pada agama terkait dengan kerusakan padanya.
Pilihan
pertama, membunuh agama. Jika sebuah barang sudah tidak bermanfaat,
disfungsional, dan justru membebani si pemilik barang tersebut, lebih baik
barang tersebut dibuang. Demikian pula jika agama tidak bisa lagi mendatangkan
perdamaian, mewujudkan dunia yang lebih baik, dan membebaskan manusia dari
dominasi dan pengaruh keduniawian yang menyebabkan tumpulnya kesadaran
transendental manusia, maka lebih baik agama disingkirkan saja dari kehidupan
individu dan sosial.
Sigmund
Freud sudah pernah menyampaikan pemikiran untuk menyingkirkan agama dari
kehidupan manusia. Ia mengatakan mengatakan bahwa agama itu tidak lebih dari
sekadar obsesi neurotis manusia yang tidak ubahnya seperti seorang anak-anak
yang memiliki kerinduan kepada bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan
ini akhirnya diproyeksikan kepada suatu citra khayalan yang manusia sebut
Tuhan. Karena itu menurut Freud agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi
individu maupun masyarakat. Hanya dengan meninggalkan agama dan ajarannya yang
dogmatis dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan
berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya.
Sudah
barang tentu, pilihan ini akan menuai protes keras dari kalangan rohaniwan yang
khususnya telah mendapat manfaat ekonomi dari agama formal yang ada. Alasan
selanjutnya jika agama formal yang ada saat ini dibunuh, diruntuhkan,
diberangus—apapun istilahnya—maka barang tentu sudah harus tersedia bagi
manusia substite’s religion sebagai pengganti agama formal
yang ada. Yang menjadi masalah, agama sampai sekarang masih merupakan komoditi
yang kuat yang bisa memberikan kelegaan batiniah bagi manusia. Selain itu sains
yang menurut Freud bisa menggantikan agama ilusi ataupun agama formal yang ada,
belumlah cukup kuat untuk menyangga peradaban.
Bagaimana
dengan pilihan kedua? Pilihan kedua adalah menata ulang agama formal yang ada
sekarang. Pilihan ini lebih masuk akal dan masih bisa memuaskan pelbagai pihak
yang berkepentingan. Mengapa? Karena dalammemformat ulang agama, yang
utama harus dilakukan adalah pembenahan dogma-dogma yang ofensif, atau
doktrin-dokrin yang berpotensi menyebabkan suatu umat beragama merasa lebih
superior dibandingkan dengan umat beragama yang lain. Seperti istilah bangsa
pilihan atau umat kepunyaan Tuhan, adalah sedikit contoh dari istilah keagamaan
yang harus ditata ulang karena ternyata istilah tersebut berpotensi menimbulkan
pelbagai konflik dan keretakan sosial. Dan jangan dilupakan juga istilah
penginjilan ataupun dakwah merupakan kegiatan yang rentan menimbulkan friksi
dalam hubungan sosial masyarakat. Karena sering kali tanpa disadari mandat
penginjilan atau dakwah itu disusupi dengan semangat penaklukan yang biasa ada
dalam mentalitas penjajah yang selalu ingin menaklukan negeri yang dijajahnya.
Yang
terutama harus disadari oleh semua umat beragama untuk terwujudnya dunia yang
penuh dengan kedamaian dan tanpa kekerasan, haruslah diciptakan sebuah format
keberagamaan masa depan yang lebih mengedepankan sikap menghargai persamaan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap-tiap agama. Karenanya tidak satu
orang pun yang pantas dan merasa berhak mengatakan bahwa agamanya lebih baik
dari agama yang lain. Sejatinya, agama adalah relatif. Ia terbatas, parsial,
dan tidak lengkap. Agama itu dapat diibaratkan seperti sebuah puzzle yang di
saat terpisah-pisah tidak memiliki nilai estetika sama sekali. Tetapi ketika
kepingan-kepingan puzzle itu disatukan, maka ia baru dapat membentuk sebuah
gambar yang indah. Doktrin-doktrin yang terdapat dalam agama-agama formal yang
ada sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri. Ketika doktrin itu berdiri sendiri,
terpisah dari yang lain, maka doktrin itu tidak dapat memberikan pencitraan
yang lengkap tentang Tuhan, tentang manusia, dan tentang ciptaan-Nya.
Agama
juga tidak ubahnya seperti sebuah cermin kecil yang tidak cukup jika digunakan
oleh seseorang untuk melihat seluruh tubuhnya. Bukankah untuk melihat seluruh
tubuh, seseorang harus melihatnya melalui sebuah cermin yang besar? Bahkan
untuk melihat benda-benda mikroskopis, dibutuhkan sebuah mikroskop dengan
pembesaran yang bisa diatur-atur.
Dengan
demikian jika manusia ingin memahami Tuhan secara utuh, ia harus melihatNya
dengan menggunakan pelbagai sudut pandang agama. Sebagai contoh dalam konteks
kekristenan, untuk melihat Tuhan yang penuh kasih sayang, maka seseorang dapat
melihatnya di dalam pribadi Kristus. Tetapi jika manusia ingin melihat sosok
Tuhan yang murka terhadap dosa manusia, maka ia bisa berkaca kepada Tuhan di
dalam Judaisme yang tidak segan-segan memerintahkan umat-Nya untuk membunuh orang-orang
yang hidup dalam penyembahan berhala. Oleh karena itu menganggap suatu agama
dengan pelbagai doktrinnya secara intrinsik lebih baik dari yang lain,
merupakan sebuah sikap yang salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang
sempit.
Jadi
apa yang harus dilakukan oleh umat agama untuk mewujudkan dunia yang lebih
tenang untuk dihuni? Ini bisa terjadi jika saja umat beragama tidak sibuk
saling beradu kontes kecantikan doktrin-doktrin yang mereka miliki. Dunia akan
menjadi dunia yang damai ketika doktrin dan pelbagai polemik yang
ditimbulkannya dikesampingkan terlebih dahulu. Alih-alih beradu argumentasi
mengenai agama yang diridhoi Tuhan dan agama yang tidak diridhoi, bukankah
lebih baik jika umat beragama duduk bersama dan menitikberatkan konsentrasi
mereka pada penyelesaian permasalahan-permasalahan lingkungan hidup, etika
sosial, dan masa depan kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun yang tidak
mengajarkan umatnya untuk saling bertolong-tolongan. Ketika agama menjadi dasar
pijakan bagi para umat beragama untuk bergandengan tangan menyelesaikan krisis
lingkungan hidup, mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan, dan pelbagai
penyakit-penyakit sosial lainnya, maka dunia yang damai dan tanpa kekerasan
bukan lagi impian di siang bolong.
Dunia
Baru Dengan Agama Baru
Sudah
terbukti agama memiliki andil dalam pelbagai konflik di planet bumi yang sudah
semakin uzur ini. Dari perang salib, perang saudara Serbia-Bosnia, sampai
konflik di Ambon. Puluhan juta jiwa telah terbunuh sia-sia. Anak-anak yang
seharusnya dipelihara agar menjadi harta masa depan, tewas dibunuh dengan sadis
hanya karena perbedaan agama, dan ketidaksetujuan atas sebuah doktrin.
Perempuan yang diciptakan untuk menjadi penolong seorang pria dan seharusnya
dilindungi, diperkosa dengan sadis oleh pria-pria brengsek yang mengaku kaum
beragama. Atas nama Tuhan seseorang bisa mencabut nyawa seseorang.
Inikah
dunia dan peradaban yang benar? Dunia yang katanya dihuni oleh manusia-manusia
agamis, justru berubah menjadi medan peperangan yang mengerikan. Peradaban yang
katanya sudah beradab, tetapi atas nama agama sanggup melakukan tindakan yang
biadab.
Bagaimana
jalan keluar dari semua permasalahan ini? Biarkan agama tetap menjadi agama
yang personal. Halangi usaha agama yang berusaha menyeruak masuk dalam ruang
publik. Format ulang doktrin-doktrin yang berpotensi menimbulkan ketegangan
dalam interaksi sosial. Dan pusatkan energi untuk mengatasi masalah-masalah
kemanusiaan.
Inilah
agama masa depan. Agama yang tidak sibuk mengurusi kepercayaan orang lain.
Agama dengan doktrin-doktrin yang mengedepankan semangat persaudaraan tanpa
mencerca perbedaan yang dimiliki oleh agama lainnya. Dan agama yang duduk
bersama guna memikirkan solusi yang efektif bagi penyelesaian masalah-masalah
kemanusiaan.
(Tulisan
ini ditulis oleh saya pada tahun 2005 sebagai bentuk kegelisahan penulis dalam
mencermati dinamika kehidupan umat beragama di era perang teroris secara global
dan kerusuhan antar umat beragama di Indonesia satu dasawarsa yang lalu. Semoga
tulisan ini masih bisa memberi manfaat).