Senin, 15 Februari 2016

Tiga



Malam ini, bintang tidak terlalu percaya diri untuk menampakkan wujud indahnya. Bulan pun masih malu untuk menggantikannya. Apalagi matahari yang sedari petang sudah hilang dilahap laut. Katanya. Hanya awan-awan hitam yang setia menemani langit yang serupa warnanya. Suasana pantai kali ini tak begitu ramai, pasirnya masih banyak basah oleh hujan, bukan oleh desiran air pantai. Tenda para turis itu pun sudah tertutup bak kelopak bunga yang sedang kuncup, para turis itu meninggalkan payungnya diatas pantai, sedangkan mereka, menikmati hangatnya ruang hotel di pinggir pantai. Aku memilih duduk tepi pantai, sambil menunggu air datang, menghirup aroma malam yang sebaiknya dihindari. Kesegaran malam ini akan menusuk jahat ke permukaan paru-paruku, sebagian peneliti banyak mempercayainya seperti itu. Sedangkan aku, dengan santai menikmati kesegaran itu, sambil memandang kehitam-hitaman langit, aku berkhayal ada seseuatu yang jatuh dari langit, mungkin jodoh, hhaha, sangat tidak mungkin.
Persuntingan seorang wanita masih jauh dari ekspektasi hidup saat ini. Aku masih mau melanjutkan pendidikanku sebagai ekonom handal, yang nantinya jiwa ini sudah ditaruhkan untuk menjadi seorang punggawa Negara. Hebat bukan?.
Kutatap langit lebih rinci lagi. Langit hitam yang sedikit demi sedikit menurunkan titik air hujan keatas wajahku itu menanamkan wajah cemas diwajahku, bagaimana jika tiba-tiba langit hitam indah itu menjadi bagi kita. Tak apalah, tuhan telah banyak mengatur dengan desain sesukanya.
**
“ma, papa berangkat dulu ya?” seruku kepada istriku. Ku kecup kening istriku dengan lembut. Mengecup kening istri sudah menjadi hobbiku, sebagai suami yang bertanggungjawab memberikan kasih sayang, hal ini adalah sesuatu yang wajib. Mungkin bagi sebagian orang adalah hal sepele, hal yang tak perlu dibesarkan, namun bagi saya hal inilah yang masih membuatku jatuh cinta terhadap istriku.
“hati-hati, pah” balasan ciuman tangan dari istri adalah satu tanda ketaatan seorang istri kepada suaminya. Dan itulah yang menjadi hak suami setiap pagi. Meski istriku tak memberikannya, aku akan tetap memaksa bagaimana pun, ia harus mencium tangan ini, bukan karena paksaan penghambaan. Tapi, aku ingin menanamnkan bagaimana ia harus menghargai orang yang sedang berkorban untuknya.
Mengatur keuangan Negara itu adalah hal yang sangat sulit. Menjumlahkan uang dana rancangan belanja Negara. Menimbang seluruh data pembukuan agar seimbang. Menampung dana dari jutaan desa di Negara. Semuanya sangat sulit, salah sedikit, bisa menjadi alasan massa mengamuk pada Negara. Namun, berbeda denganku, dengan berlandaskan suatu ibadah kepada tuhan semata, semua urusan mengatur keuangan Negara itu adalah suatu yang sangat mudah. Selalu berdoa agar diberi ketelitian dalam menjumlah, dikaruniakan selalu kejujuran dalam menghimpun dan diilhami keadilan dalam menyeimbangkan.
Belum lagi rancangan belanja rumah, dari sang raja abadi. Istri. Jika sudah pertengahan bulan seperti ini, dia sudah menjadi manusia siaga satu, dahinya sudah sedikit mengerut kebawah, meski belum sepenuhnya mengerut. Keadaan rumah di pertengahan bulan ini seperti kontrakan mahasiswa, yang mulai satu-persatu barang sudah mulai tak mengenal tempat aslinya. Namun, semua itu dilakukan dengan kesabaran. Berdoa agar selalu ada pada poros kesabaran, saling cinta sesama keluarga adalah kunci yang harus ditagih kepada tuhan agar rumah tangga sejahtera.
Ada kemenarikan pada hari ini. Kala itu, waktunya beristirahat makan siang, aku pergi menuju kantin yang memang agak jauh dari kantor tempatku menginput semua urusan Negara. Ditengah perjalanan, ku menemukan seorang kakek paruh baya yang berjalan dengan santailalu kakek itu menyematkan senyum kepadaku yang sedang terburu nafsu kala itu. “degg…” hatiku berdesir ketika senyum itu mendarat di mataku ini, bukan karena nafsu cinta, tapi karena cinta bathin ini mengingat sosok ayah yang sangat ramah, baik, pemberani, pahlawan akhir zaman yang memang aku temukan seumur hidupku. Tapi, kini ia telah tiada, memang ia sudah lama meninggalkanku, tapi, aku masih ingat raut indah ketegaran darinya, dan  aku pun ingat, bulan ini aku belum berkunjung ke pusara ayah.
**
“Brrrrr….. brrrr…..” air pantai menyapa sela-sela jari-jari kaki, menggelitik disetiap inci telapak kakiku. Aku terbangun, terduduk sambil memeluk lutut melihat betapa indahnya pantai mala mini. Setiap angina yang lewat tak ku sia-siakan, ku hirup dalam-dalam, ku hisap dalam-dalam.
“grugrugrugurgrug…..” ternyata langit sudah tak bersahabat, awan hitam telah memulas rata langit berwarna gelap diatas. Datang dengan marah, sang Guntur pun tiba-tiba melontarkan petir ketengah laut, dengan suara yang begitu menggelegar.
“jederrrrr….” Semua pengunjung pantai kali itu langsung bertaburan pergi meninggalkan tempat istirahat mereka, begitu pun aku yang ketakutan mendengar suata petir itu. Rupanya sang Guntur tetap marah, petir berulangkali dilontarkan kepada penduduk bumi oleh sang Guntur. Riak hujan tiba-tiba datang dengan deras, mereka tak mendatangkan gerimis terlebih dahulu, membuat semua orang lebih kaget dengan derasnya hujan ini. Pertunjukkan Guntur semakin asyik, ketika ombak ikut mengamuk didataran laut sana. Terlihat ombak begitu besar saling berbenturan. Sang turis pun hanya bisa berucap memanjatkan mantera-mantera doa-doa kepada tuhan agar senantiasa cepat mereda.
Hujan semakin reda. Petir semakin seram dilihat. Ombak pun sudah tak lagi bersahabat. Disaat semua sedang menikmati perannya, tiba-tiba air laut meluap bukan hanya sebagai ombak penarik wisatawan, tapi ombak kali ini melebihi lantai tiga apartemen di pinggir pantai, sontak semua orang keluar berhamburan menuju dataran lebih tinggi. Aku pun panik, mencari keluargaku yang tiba-tiba menghilang. Air laut itu pun sudah tak dapat lagi kutahan, aku terbawa hanyut, terbawa aliran deras laut yang akan meratakan semua pemukiman warga. Aku semakin pasrah, aku mencoba bertahan sekuat yang aku bisa, mataku berusaha terbuka agar kepalaku tak terbentur benda-benda yang terbawa air laut itu. Semakin lelahku menaha semuanya, semakin jelas pemandangan ayah, ibu, kakak, adik dan semua keluarga teman kerabat yang pernah aku mengenalnya. Dan semua itu hilang terbawa arus deras. Mungkin aliran deras ini akan membawaku ke surge.
**
“Riaaaaaaaaaaaannnnn….. banguuuuunnnn…” Teriak kakakku tepat di telingaku.
“Astaga..!” aku tebangun dengan seketika, badanku mengucurkan keringat yang begitu banyak, jantung pun masih dengan pompaan kencang dana cepat, kepalaku pening, gerimis yang semakin deras membuat keringatku tidak terlihat. Kulihat kakak perempuanku bermuka masam memandangku.
“ayo cepat pulang, mala mini hujan sudah mulai deras, kau tak sadar..” nada kakak semakin tinggi, mungkin kesal kepadaku yang sedari tadi masih tertidur di pantai.
Kepalaku masih pening. Mataku tak bisa lurus memandang arah. Kaki dan tangan masih lemas. Pikiranku masih melayang, membayangkan apa yang sudah termimpikan. Bermimpi sebagai punggawa Negara, bermimpi sebagai Presiden rumahan dan sebagai khalifah keluarga. Senangnya.
Kepalaku pun masih melayangkan segenap scene mimpi di pantai tadi, background yang sama persis seperti keadaan saat ini membuatku semakin cemas, hujan deras, Guntur, petir dan semua yang tergambar di mimpi itu. Bagaimana jika itu terjadi?. Ah, sudahlah. Itu mimpi.

*******************************************************************************
kirim komentar anda ke : dikitriana@gmail.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda. menentukan nasib saya!!