Pernahkan kalian mendengar cerita yang membuat kalian mengharu
biru? Aku banyak membaca buku-buku melankolis dan sebagian besar hanya
kunikmati dan kuingat hanya beberapa waktu. Tapi cerita ini mampu membuat ku
mengharu biru, menangis ditengah kegalauan ku menuju pendidikan tinggiku.
Malam itu aku duduk bersama
ibu, memandang selasar hotel berbintang lima yang kami tempati demi mengejar
sebuah arti “bangku kuliah”. Dari situ mulailah sebuah kisah yang akan
dirangkai dari sebuah pengalaman hidup seseorang yang sangat aku banggakan. Ibu.
***
“Tiii,,, bangunn,,,”
Subuh ini, mih membangunkanku lebih awal dari biasanya, adik
bungsuku sedang sakit dan dampaknya akulah yang harus mengawali semua kegiatan
pagi ini. aku bangunkan pula iis dan ani, adik-adik tertuaku, seperti biasa aku akan berangkat sekolah, tak
lupa aku membawa seember dagangan yang akan aku titipkan dan aku jual di
sekolah nanti, ya, bila orang-orang menyebutnya belajar sambil bermain mungkin
menurutku berdagang adalah kata yang lebih tepat.
Jika semua orang punya banyak mimpi yang tinggi mungkin aku adalah
orang yang tak berani bermimpi lebih selain hanya bisa menamatkan sekolahku
hingga SMA dan mencari kerja, setumpuk penghargaan dan rapot-rapot berwarna
biru itu mungkin hanya akan jadi kenangan yang akan aku ceritakan pada anakku
kelak. Aku tak mampu bermimpi lebih, aku hanya anak dari seorang keluarga seadanya,
bapa hanya penjual tahu keliling, mih hanya ibu rumah tangga, dan aku adalah
anak tertua dari 5 bersaudara setelah 2 adikku meninggal beberapa tahun yang
lalu. Untuk makan sehari hari saja kami harus membagi sebuah telur menjdi empat,
kadang-kadang bapa hanya makan tahu tanpa nasi. Sedih rasanya, keadaanku sangat
berbeda jauh dengan keadaan sahabatku, euis, bapanya pedangan kelontong yang
mampu membelikannya sepatu setiap semester.
Apa yang kalian lakukan bila sepatu yang kalian pakai sudah robek yau
sudah tidak layak pakai? Membuang lalu membeli bukan. Bagiku membeli sepatu
sama halnya dengan tidak makan 3 hari, yang aku lakukan hanya mencoba menambal
dan mengesol sepatuku. Bila memang benar2 tak bisa dipakai satu-satunya jalan
hanya memungut sepatu tetanggaku yang sudah tak terpakai. Pernah suatu ketika,
aku dan mih mengunjungi saudara kami di karang layung, sebut saja uwa. Dari
awal kami masuk ke pekarangan rumah uwa, mataku tak henti melirik tumpukan
sepatu kotor berserakan yang ada di pinggir tempat sampah, sepatu tak terpakai,
sepatu itu sepertinya masih akan terlihat bagus bila dicuci, setidaknya masih
dapat dipakai dibanding sepatuku yang beberapa kali aku sol dirumah. Ketika mih
sedang asik mengobrol dengan uwa, aku keluar rumah, mengamati sepatu-sepatu itu
kembali, berniat akan memintanya pada uwa sebelum pulang nanti dan membayangkan
senin nanti aku, iis dan ani akan memakai sepatu yang berbeda walau tidak baru. Aku pegang, kotor sekali, aku
bersihkan, aku tumpuk rapi, aku pisahkan dengan sampah disekitarnya. Akhirnya
obrolan itu selesai, mih dan uwa keluar.
“wa, eti minta sepatu nya ya” kataku sambil menunjukan tumpukan
sepatu yang sudah aku siap bawa.
“sepatu apa?”
“itu, sepatu yang dekat tempat sampah”
“ehh jangan itu masih dipake, simpen lagi simpen,..”
Jleebbb,, sakit.
“tapi ko disimpen deket tempat sampah”
“yehh,, simpen lagii”
Jleebb.. sakit.
Aku kembali menaruh sepatu-sepatu
itu, meninggalkan ditempat semula dengan hati yang tersayat, tuhan, memulung
saja tak boleh, apa itupun terlalu mahal untukku?.
Setelah berjalan jauh dari rumah uwa, mih memegang tanganku, lalu
berbisik
“sudahlah ti, jangan suka minta-minta sepatu, doakan saja semoga
mih dapat uang untuk beli sepatu untukmu” bisik mih dengan mata yang dapat
kubaca bahwa mih pun merasakan sakit yang sama sepertiku.
Mendengar itu, aku semakin ingin menangis. Maafkan aku mih, aku tak
bermaksud mempermalukan mih, atau membebani pikiran mih gara-gara hanya ingin
ganti sepatu. Kejadian itu benar-benar melekat dalam hatiku, Tak dapat
kulupakan, sungguh tuhan menyakitkan sekali.
Allah selalu memberi hikmah dibalik semua kejadian, dua hari
setelah hari yang menyakitkan itu, aku kembali menemukan tumpukan sepatu tak
terpakai di rumah tetanggaku, sebut saja eteh. Aku terus saja memperhatikan
sepatu itu, berniat memungut dan memintanya, tapi bila mengingat kejadian
dirumah uwa, niatku langsung hilang. Tapi bukan namanya yeti jika gampang
menyerah. Basa basi aku bertanya.
“eteh, sepatu itu masih di pake?”
“sepatu yang mana ti?”
“itu yang banyak di rak, yang kotor”
“ohh,, ya sok buat eti aja, tuh ada banyak, udah gak cukup, ambil
aja kalu mau” ucapnya sambil tersenyum
Ya Allah, aku bahagia sekali, tanpa pikir panjang, aku pilih-pilih
sepatu, aku panggil iis dan ani untuk memilih sepatu juga. Sepatu-sepatu ini
lebih bagus dibanding yang aku lihat dirumah uwa kemarin. Aku bersama kedua
adikku memcuci sepatu-sepatu itu, menjemurnya dengan rasa tidak sabar
memakainya esok disekolah.
Hal yang sering membuatku terharu sekaligus bangga adalah ketika
mih naik ke atas panggung mengambil piagam penghargaan dari kepala sekolah
karena kejuraan yang aku dapatkan.
***
Tak terasa air mataku begitu lancar mengalir di pipiku, cerita yang
tadi disampaikan ibu, membuat hatiku sadar, membuatku harus semakin menghargai
apa yang saya telah dapatkan, membuatku harus bersyukur lebih banyak lagi.
“Allahu
akbar.. Allahuakbar..” tak terasa adzan maghrib telah menjadi pamungkas dalam
petang ini. Membuatku dan ibu beranjak pergi bersiap untuk melaksanakan shalat
berjamaah.
*****************************************************************************
kirim komentar anda ke : dikitriana@gmail.com